cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 6 No 1 (2023)" : 8 Documents clear
Ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED): Catatan tentang Keselarasan Norma dan Prospek Pembaruan Hukum Abdul Munif Ashri
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.65-112

Abstract

Human rights treaty as an international ‘law-making treaty’ requires parties to make legal adjustments and reform. Those are intended for the effective realization of state obligations to respect, protect, and fulfill human rights. Indonesia itself has already become a party to eight ‘core’ international human rights treaties, and the one that has not yet been ratified is the Convention Against Enforced Disappearance (or ICPPED). This paper discusses some issues surrounding the discourse on the ratification of ICPPED, with the main focuses on Indonesia’s legal framework compatibility with the Convention and the need for legal reform if Indonesia becomes a state party. Those issues were researched with a comparative study on other ICPPED state parties, i.e The Netherlands and Uruguay. This paper concludes that there is norm compatibility between Indonesia’s legal framework and ICPPED provisions, such as the provision of the ‘right not to be subjected to enforced disappearance’ which is guaranteed by the Human Rights Act, and the provision of command or superior responsibility on Human Rights Court Act. However, legal reform is still needed, particularly for the criminalization of enforced disappearance as an autonomous crime, the expansion of the scope of universal jurisdiction in criminal law to include the crime of enforced disappearance, and legal reform of victims’ reparation mechanisms. Abstrak Perjanjian HAM sebagai perjanjian internasional yang menciptakan kaidah baru (law-making treaty) mensyaratkan penyesuaian dan pembaruan hukum oleh negara yang mengikatkan diri. Hal itu dimaksudkan agar penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM bisa terealisasi secara efektif. Indonesia sendiri sudah menjadi negara-pihak terhadap delapan ‘perjanjian HAM inti’, dan satu perjanjian yang belum diratifikasi ialah Konvensi Anti-Penghilangan Paksa (ICPPED). Artikel ini membahas isu seputar diskursus ratifikasi perjanjian HAM itu, dengan ulasan berfokus pada kesesuaian norma hukum positif Indonesia terhadap ICPPED, serta kebutuhan pembaruan hukum bila Indonesia menjadi negara-pihak. Persoalan tersebut dikaji dengan dilengkapi telaah perbandingan kerangka hukum negara peratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa, yakni Belanda dan Uruguay. Artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat kesesuaian norma antara hukum Indonesia dan substansi ICPPED, utamanya terkait jaminan ‘hak untuk tidak dihilangkan paksa’ oleh UU HAM (UU 39/1999) dan prinsip pertanggungjawaban komando yang sudah diatur dalam UU Pengadilan HAM (UU 26/2000). Namun, pembaruan hukum tetap dibutuhkan, utamanya menyangkut kriminalisasi penghilangan paksa sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri, perluasan lingkup penerapan yurisdiksi universal dalam hukum pidana dengan mencakup tindak pidana penghilangan paksa, dan pembaruan kerangka hukum berkenaan mekanisme reparasi korban.
Politik Hukum Pemberian Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara dalam Pengujian Penyalahgunaan Wewenang Fauzi Syam; Sukamto Satoto; Helmi Helmi
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.189-233

Abstract

There have been differing views on the administrative court’s absolute competence in reviewing abuse of authority cases under Law No. 30/2014 on Government Administration (Government Administration Law). This article seeks to uncover the legal politics and principles underlying the grant of absolute competence to the administrative court in reviewing abuse of authority cases. The uncovered legal politics and principles will then be used to analyze the regulation of objects, subjects, and the limits of the administrative court’s authority under Supreme Court Regulation No. 4/2015. The study’s findings concluded that the underlying idea behind the grant of authority to the administrative court in reviewing abuse of authority cases is to ensure legal certainty and protection for government officials in the exercise of their duties and authorities as stated under Art. 17 to Art. 21 of the Government Administration Law. The legislators shifted their anti-corruption law approach from a criminal-based approach to an administrative-based approach that prioritizes the recovery of state funds and enforcing administrative sanctions. Conceptually, this new model of anti-corruption law enforcement is founded on three principles: the presumption of legality, the presumption of administrative violation, and the ultimum remedium principle. Finally, Supreme Court Regulation No. 4/2015’s regulation of objects, subjects, and limits on administrative court authority contradicts the legal-philosophical idea underlying Art. 17 to Art. 21 of the Government Administration Law. Abtrak Sampai saat ini, masih beragam pandangan mengenai eksistensi kompetensi absolut peradilan tata usaha negara (peratun) dalam pengujian penyalahgunaan wewenang dalam UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP). Artikel ini bertujuan untuk menemukan gagasan filosofis politik hukum dan prinsip-prinsip dalam pemberian kompetensi absolut kepada peratun dalam pengujian penyalahgunaan wewenang dalam UU AP sekaligus sebagai pisau untuk menganalisis pengaturan objek, subjek, dan pembatasan kewenangan PTUN dalam Perma No. 4/2015. Hasil kajian menyimpulkan, pertama, gagasan filosofis politik hukum pemberian kompetensi absolut kepada PTUN dalam pengujian penyalahgunaan wewenang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pejabat pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 17 s.d. Pasal 21 UU AP. Pembentuk UU mengubah cara pandang hukum pemberantasan korupsi yang sebelumnya mengutamakan ‘pendekatan penindakan pidana’ menjadi ‘pendekatan administratif’; dari pendekatan yang ‘mengutamakan penghukuman pidana penjara’ menjadi ‘mengutamakan pengembalian uang negara’ dan ‘penegakan sanksi administratif’. Secara konseptual, model baru penegakan hukum tersebut memiliki basis teoretis yaitu asas praduga rechtmatige, asas praduga pelanggaran administratif, dan asas ultimum remedium. Kedua, pengaturan objek, subjek, dan pembatasan kewenangan PTUN dalam Perma No. 4/2015 tidak sesuai dengan gagasan filosofis politik hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Pasal 17 s.d. Pasal 21 UU AP.
Kebebasan Pers, Hukum, dan Politik Otoritarianisme Digital Herlambang P. Wiratraman
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.1-31

Abstract

Repression of digital media continues, without legal accountability. Laws in this context often imprison journalists or editors, rather than efforts to protect rights to digital freedom. This of course has an impact on journalistic work and ultimately interferes press freedom situation. The following study aims to analyze how the rules and reality of protection for journalists, the media and freedom of the press in the Indonesian media or press legal system, especially in the context of the development of digital technology, and how law and law enforcement work in dealing with digital attacks. This article argues that the weakening of press freedom in the context of the digital realm goes hand in hand with the strengthening of authoritarian power politics, both those involved in and allowing such digital attack situations. The involvement of cyber troops, influencers, and parties who carry out hacking, explains how these forces work. Unsurprisingly, law and law enforcement operate as repressive instruments, which prioritize security approaches and non-discriminatory legal principles rather than strengthening a legal system that promotes the protection and fulfillment of press freedom as a fundamental element of a democratic rule of law. This means that power politics, whether involved in or allowing digital attack situations against the press, becomes a new character that is inherent in the process of making laws, policies and law enforcement. Abstrak Represi terhadap media digital terus terjadi, tanpa pertanggungjawaban hukum. Sebaliknya, hukum justru kerap memenjarakan jurnalis atau editor, dibanding upaya melindungi hak-hak atas kebebasan digital. Hal ini tentu saja berdampak pada kerja-kerja jurnalistik dan pada akhirnya mengganggu kebebasan pers. Kajian berikut hendak menganalisis bagaimana aturan dan realitas perlindungan bagi jurnalis, media dan kebebasan pers dalam sistem hukum media/pers Indonesia, khususnya dalam konteks perkembangan teknologi digital, dan bagaimana pula hukum dan penegakan hukum bekerja dalam menghadapi serangan-serangan digital. Artikel ini berargumen bahwa pelemahan kebebasan pers dalam konteks ranah digital berseiring dengan menguatnya politik kekuasaan otoriter, baik yang terlibat maupun membiarkan situasi serangan digital yang demikian. Pelibatan pasukan siber (cyber troops), influencer, dan pihak-pihak yang melakukan peretasan, menjelaskan bagaimana bekerjanya kekuatan tersebut. Tak mengejutkan, hukum dan penegakan hukum bekerja sebagai instrumen represif, yang lebih mengedepankan pendekatan keamanan dan prinsip hukum yang tidak diskriminatif ketimbang meneguhkan sistem hukum yang memajukan perlindungan dan pemenuhan kebebasan pers sebagai elemen dasar negara hukum demokratis. Ini artinya, politik kekuasaan baik terlibat maupun membiarkan situasi serangan digital terhadap pers, menjadi karakter baru yang melekat dalam proses pembentukan hukum, kebijakan, dan penegakan hukumnya.
Menelaah Masa Lalu, Menata Masa Depan: Sejarah Hukum Tanah Ulayat dan Model Penanganan Konflik Sosialnya M. Sofyan Pulungan
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.235-267

Abstract

Ulayat rights are very unique rights in the control and management of natural resources that are carried out together. However, the implementation of Law Number 5 Year 1960 concerning the Basic Provisions of Agrarian Principles (UUPA), ulayat land is one of the sources of social conflicts that have occurred until now. This article discusses the historical study of customary land law and how to conduct a resolution of social conflict. Thus, it is very important to study the history of ulayat land in order to obtain a suitable model for solving the root-cause of conflict as well as its social conflict in the present time. This article was prepared using a normative legal research methodology with a historical approach. The results of this study found that the existence of ulayat land as a form of land law system that lived in adat law communities existed long before the arrival of the Europeans. The ulayat land conflict increased after independence, especially in the New Order Era and the Reformation Era. This research proposes two model prescriptions for handling communal land conflicts. First, long term which is led directly by the President by considering the involvement of the House of Representatives. Second, the short term led by the Ministry of ATR/BPN by accelerating the handling of ulayat rights cases. Abstrak Hak ulayat merupakan suatu hak yang sangat khas dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan secara bersama-sama. Namun dalam praktik pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tanah ulayat justru merupakan salah satu sumber konflik sosial yang terjadi sampai dengan sekarang. Artikel ini membahas mengenai telaah sejarah hukum tanah ulayat dan penanganan konflik sosialnya. Telaah sejarah hukum tanah ulayat sangat penting dilakukan agar diperoleh akar masalah konflik dan bentuk model penanganan konflik sosialnya pada masa sekarang. Tulisan ini disusun dengan metodologi penelitian hukum normatif dengan pendekatan historis. Hasil penelitian ini menemukan bahwa eksistensi tanah ulayat sebagai suatu bentuk sistem hukum pertanahan yang hidup di masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa. Konflik tanah ulayat justru menguat pasca kemerdekaan khususnya di Era Orde Baru dan Era Reformasi. Penelitian ini mengusulkan dua preskripsi model untuk penanganan konflik tanah ulayat. Pertama, jangka panjang yang dipimpin secara langsung oleh Presiden dengan mempertimbangkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua, jangka pendek yang dipimpin oleh Kementerian ATR/BPN dengan percepatan penanganan kasus-kasus hak ulayat.
Originalisme dan Syarat Keserentakan Pemilu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Bimo Fajar Hantoro
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.33-64

Abstract

The Constitutional Court changed its stance in interpreting the time for holding elections from the interpretation of five concurrent general elections in Decision Number 14/PUU-XI/2013 to offering several concurrent election models in Decision Number 55/PUU-XVII/2019. The interesting aspect of this shift is that both decisions used the same method of interpretation, namely originalism with an original intent approach, which is intended to discover the original intent of the framers of the Constitution. This article aims to examine the Constitutional Court's use of originalism in interpreting the timing of holding general elections. This study's findings led to two conclusions. First, the use of originalism has resulted in dynamic changes in the interpretation of the time of holding elections, which in turn have resulted in a shift in the scope of the legislature's authority to regulate. Second, there are inconsistencies and disparities in the Constitutional Court's application of originalism, as evidenced by differences in the historical references used between decisions and incoherence in the use of historical references with the resulting interpretations. This confirms originalism's criticism, namely the impossibility of determining the collective intent of the framers and originalism's inability to limit judges from rendering extensive interpretation or committing judicial activism. Abstrak Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 mengubah pendiriannya dalam memaknai waktu penyelenggaraan pemilu dari pemaknaan pemilu serentak lima kotak dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dengan menawarkan sejumlah model keserentakan. Poin menarik dari pergeseran ini adalah fakta bahwa kedua putusan tersebut menggunakan metode penafsiran yang sama, yaitu originalisme dengan pendekatan original intent yang dimaksudkan untuk menemukan maksud asli perumus konstitusi dalam rangka menafsirkan konstitusi. Artikel ini ditujukan untuk mengkaji penggunaan metode penafsiran originalisme oleh Mahkamah Konstitusi dalam memaknai waktu penyelenggaraan pemilu. Hasil dari kajian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, penggunaan metode penafsiran originalisme telah menimbulkan dinamika pemaknaan waktu penyelenggaraan pemilu yang kemudian menyebabkan terjadinya dinamika luas kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengatur mengenai waktu penyelenggaraan pemilihan umum. Kedua, terjadi inkonsistensi dan disparitas dalam penerapan metode originalisme oleh Mahkamah Konstitusi yang ditunjukkan oleh dua hal, yaitu perbedaan rujukan historis antar satu putusan dengan putusan lainnya dan inkoherensi dalam penggunaan rujukan historis dengan penafsiran yang dihasilkan. Hal mana kemudian mengafirmasi kritik originalisme, yaitu mengenai kemustahilan menentukan maksud kolektif dari perumus dan ketidakmampuan originalisme untuk membatasi hakim dari melakukan penafsiran yang ekstensif ataupun aktivisme yudisial.
Anti-Positivisme Ronald Dworkin: Menalar Hukum sebagai Moralitas Tanius Sebastian
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.269-308

Abstract

Ronald Dworkin was a contemporary American legal theorist whose ideas of the nature of law had strikingly compelled legal positivists to amend a number of their basic tenets. In this paper, Dworkin’s pivotal legacy on troika of jurisprudence, legal theory, and philosophy of law will be assessed, in the light of interpretive nature of legal practice undertaken by their officials or professionals. Thus, it will demonstrate three focal points of his legal thought, i.e. the idea of anti-positivism, legal reasoning as moral reasoning, and legal (in)determinacy. Those are exhibited in Dworkin’s final oeuvre, Justice for Hedgehogs, which refers to the notable Classical Greek metaphor made famous by Sir Isaih Berlin on the picture of law and morality: the fox and the hedgehog. Dworkin drew on this metaphor to accentuate his long-standing commitment on the unity of law and morality. Accordingly, this article will situate Dworkin in Indonesia jurisprudential problem in the context of legal pluralism. My primary intention is to examine the transposition of the Dworkinian concept of jurisprudence to the concept of Indonesian legal science. To that end, a comparative glance is inevitable, and it will make the case for several impediments to use Dworkin’s thoughts in the legal ambiguity and uncertainty in Indonesia. Abstrak Ronald Dworkin adalah seorang teoretikus hukum Amerika kontemporer dengan gagasan-gagasan yang memaksa para tokoh positivis hukum untuk mengamandemen beberapa corak dasar teorinya. Di dalam tulisan ini, warisan Dworkin yang paling penting mengenai ilmu, teori, dan filsafat hukum akan diulas berdasarkan hakikat interpretatif praktik hukum sebagaimana digeluti oleh para pengemban hukum profesional. Di sini akan diajukan tiga pokok pemikiran hukum Dworkin, yakni paham anti-positivisme, penalaran hukum sebagai penalaran moral, dan ke(tidak)pastian hukum. Kesemuanya itu tampak di dalam karya Dworkin yang terakhir, Justice for Hedgehogs, yang merujuk pada metafora Yunani Klasik tentang Sang Rubah dan Sang Landak yang diperkenalkan oleh Sir Isaiah Berlin. Dworkin menggunakan metafora ini untuk menegaskan komitmen lamanya tentang kesatuan hukum dan moralitas. Dalam pada itu, artikel ini akan mendudukkan Dworkin ke dalam masalah keilmuan hukum Indonesia dengan konteks pluralisme hukum. Maksud utamanya adalah untuk menyelidiki transposisi konsep filsafat hukum Dworkinian ke konsep ilmu hukum Indonesia. Untuk itu, telaah dengan sentuhan komparatif menjadi tak terhindarkan, dan dengannya hendak dinyatakan bahwa terdapat sejumlah tantangan dalam menggunakan pemikiran Dworkin di dalam ambiguitas dan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Legalitas Perkawinan Beda Agama: Mengungkap Disparitas Putusan Pengadilan di Indonesia Ayub Mursalin
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.113-150

Abstract

In Indonesian society, interfaith marriages always spark controversy. Due to this fact, some people who are planning or have already begun an interfaith marriage turn to the court to ask for the legalization of their marriage. Through a doctrinal analysis using a comparative law approach, this article aims to examine the arguments of judges in adjudicating and deciding on the legality of interfaith marriages in three court institutions: the Primary Court, the Supreme Court, and the Constitutional Court. Even though the three court institutions have distinct absolute competencies, it is vital to analyze them to identify any inconsistencies or harmonies in the legal arguments, as this would have a significant impact on views and even access to public law in the case. This paper argues that, on the one hand, there is a legal conflict between the factors considered in the Supreme Court's judgment and those considered in the Primary Court's decision in situations involving interfaith marriages. While the Supreme Court, which initially permitted interfaith marriages, now tends to forbid them, the Primary Court's reasoning generally tends to support interfaith marriages. The Constitutional Court's ruling in 2015 regarding the judicial review of the Marriage Law of 1974 against the Constitution of 1945, which in essence forbids interfaith marriage but does not violate the right to establish a family, appears to have caused a change in the justification for the Supreme Court's decision. Abstrak Legalitas perkawinan beda agama di Indonesia masih terus menjadi polemik di tengah masyarakat. Fakta ini menyebabkan sebagian mereka yang akan atau telah melangsungkan perkawinan beda agama untuk meminta pengadilan sebagai forum yang bisa mengesahkan perkawinannya. Melalui kajian doktrinal dengan pendekatan perbandingan hukum, artikel ini akan mengungkap argumen hakim dalam mengadili dan memutus legalitas perkawinan beda agama pada tiga lembaga pengadilan yang berbeda, yaitu Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Meski ketiga lembaga pengadilan tersebut memiliki kompetensi absolut yang berbeda, kajian terhadapnya menjadi penting dalam upaya menemukan keselarasan atau ketidakselarasan argumentasi hukum, dan ini akan sangat menentukan sikap dan bahkan akses hukum masyarakat dalam perkara tersebut. Hasil kajian menunjukkan adanya ketidakselarasan logika hukum antara putusan-putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi terhadap perkara legalitas perkawinan beda agama yang diajukan para pemohon. Putusan-putusan Pengadilan Negeri pada umumnya cenderung membolehkan perkawinan beda agama, sedangkan Mahkamah Agung, yang awalnya membolehkan perkawinan beda agama, sekarang memiliki kecenderungan untuk melarangnya. Pergeseran kecenderungan Putusan Mahkamah Agung ini baru terjadi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang Perkawinan 1974 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di tahun 2015 yang pada intinya pelarangan perkawinan beda agama tidak melanggar hak asasi manusia untuk membangun sebuah rumah tangga.
Krisis dan Reformasi: Hak untuk Mengatur dalam Perjanjian Investasi Bilateral di Negara Dunia Ketiga Syahrul Fauzul Kabir
Undang: Jurnal Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.6.1.151-187

Abstract

In international law, the right to regulate has historically been known but it has a different significance in international investment law. In the context of the crisis of the investment law regime, the right to regulate emerged as one of the norms reforming the substantive rules of BITs. This will be understood by reviewing its theoretical position in international law, and its interpretation by tribunals, while comparing its formulations in the third worlds (Indonesia, India, Brazil, South Africa). While in international law the right to regulate refers to the sovereign right of state, in investment law it is an exception to the performance of BIT obligations that do not give rise to state responsibility. In the preambule of the BIT, Indonesia, India and Brazil reaffirm the concept of the right to regulate as an interpretive tool in interpreting the objects and purposes of the BIT. As a stand-alone article, the concept of the right to regulate is reassured albeit in a different way, by Indonesia and South Africa. This is accompanied by enforcing general exceptions and security exceptions. While the former is applied by Indonesia and India, the latter is applied by the third worlds (except South Africa). Abstrak Dalam hukum internasional, hak untuk mengatur (the right to regulate) secara historis telah dikenal lama namun menemukan signifikansi yang berbeda dalam rezim hukum investasi internasional. Dalam konteks krisis rezim hukum investasi, konsep hak untuk mengatur muncul sebagai salah satu norma yang mereformasi aturan substantif BIT. Hal ini akan coba dipahami dengan meninjau kedudukan teoretiknya dalam hukum internasional, dan penafsirannya oleh tribunal dalam praktiknya, seraya melihat perbandingan rumusannya di negara dunia ketiga (Indonesia, India, Brazil, Afrika Selatan). Sementara dalam hukum internasional rujukan dari hak untuk mengatur adalah kedaulatan negara, dalam hukum investasi ia merupakan pengecualian bagi pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian investasi yang tak menimbulkan tanggung jawab negara. Di bagian preambule BIT, Indonesia, India dan Brazil menegaskan kembali konsep hak untuk mengatur sebagai alat interpretatif dalam menafsir objek dan tujuan BIT. Sebagai pasal yang berdiri sendiri, konsep hak untuk mengatur kembali dikukuhkan meski dengan kandungan makna berbeda oleh Indonesia dan Afrika Selatan. Hal ini dilengkapi dengan memberlakukan pengecualian umum dan pengecualian keamanan. Sementara yang pertama diterapkan oleh Indonesia dan India, yang disebut terakhir diterapkan oleh negara dunia ketiga (kecuali Afrika Selatan).

Page 1 of 1 | Total Record : 8